SARUKSUK ERHA NI SANGMAIMA

SARUKSUK ERHA NI SANGMAIMA

Senin, 14 Maret 2011

PASARIBU DAN SARUKSUK

A.    LATAR BELAKANG

MARGA, itulah suatu identitas keluarga Batak. Orang Batak harus bermarga. “Marga” artinya jalan, hubungan dalam kelompok kekerabatan yang eksogen dan unilinier secara patrilinier. Bermula dari nama seseorang, kemudian keturunannya menjadikan nama itu nama identitas keluarga, di kenal dengan sebutan “marga”, dan setiap orang Batak, pria, dirajut dalam silsilah (tarombo) marga.
Akan halnya PASARIBU sebagai marga, dalam silsilah Batak, ternyata tidak dijumpai seseorang yang bernama PASARIBU secara eksplisit. Akibatnya timbul kesulitan memastikan sejak kapan marga itu muncul dan siapa saja yang berhak menggunakan marga itu sebagai identitas keluarga patrilinier. Dan tulisan ini merupakan hasil studi yang panjang, yang berusaha menemukan jawaban sekaligus mencoba meluruskan berbagai pendapat yang kurang memiliki informasi dan kajian kuat tentang hal itu. Studi ini menyimpulkan bahwa Sariburaja I adalah Pasaribu pada generasi ke III, dan Saruksuk menempati posisi pada generasi ke-IX pada silsilah Pasaribu – Saruksuk.
Kalau kepada orang yang bermarga Pasaribu di ajukan pertanyaan ini : Siapa orang yang bernama Pasaribu? Boleh jadi pertanyaan itu dianggap aneh, mengada-ada, mencari kerumitan, bahkan mungkin dianggap pertanyaan yang mencurigakan. Jawaban berapi-api penuh semangat yang timbul boleh jadi mungkin begini : Bukankah sudah begitu banyak orang bermarga Pasaribu tersebar di Bumi Nusantara dan bahkan manca negara, yang berprofesi sebagai petani, nelayan, tukang becak, gelandangan, pengusaha, pegawai negeri, pejabat rendah, menengah dan pejabat tinggi? Pasaribu menyebar dimana-mana, karena panggilan tugas maupun karena desakan keadaaan. Tidakkah mereka itu menjadi fakta adanya seseorang bernama Pasaribu pernah hidup, kemudian turunannya mengabadikan nama itu menjadi marga keturunannya seperti halnya marga-marga lain yang menjadikan nama leluhur jadi marga pada umumnya.
Ada semacam pendapat yang mengatakan hanya Habeahan, Bondar dan Gorat saja yang masuk marga Pasaribu. Alasannya, orang bertiga itulah anak kandung Sariburaja III yang mereka sebut Pasaribu. Itulah konstruksi pikir yang dikembangkan. Karena Habeahan, Bondar dan Gorat saja anak kandung Sariburaja III, maka perkumpulan Pasaribu yang dibentuk pada berbagai tempat cenderung mencakup hanya tiga sub unit marga itu saja. Di banyak tempat , rumus ini dipaksakan dalam bentuk daftar hadir, urusan adat, publikasi lisan, internet maupun cetak. Kalau ada sub unit marga dari pomparan (turunan) Borbor bergabung ke dalam perkumpulan Pasaribu maka rumus yang digunakan terhadap sub unit marga itu bukan rumus uniliner secara patriliner tetapi menggunakan rumus Ikrar Borbor Marsada.
Di negeri Tapian Nauli, Poriaha, Negeri Unte Mungkur, Tapanuli Tengah, setiap kali ada acara besar yang membawa nama (1) Siambaton, (2) Narasaon, (3) Sorba Dibanua, di situ, Pasaribu selalu mereka posisikan sebagai hulahula, dan Pasaribu menerima posisi itu dari dulu sampai sekarang tanpa komentar. Tetapi sejak munculnya Konsep Tarombo Borbor Marsada yang disusun oleh Mangaradja Salomo yang mencantumkan putera pertama Datu Dalu bernama Sariburaja III dan didalam tanda kurung ditulis Pasaribu, sebagai berikut, Sariburaja III (Pasaribu),  maka sejak saat itu muncul rumus yang baru yakni Pasaribu adalah Sariburaja III dalam sundut(generasi) ke sepuluh (X) menurut silsilah Mangaraja Salomo. (MS PAsaribu) ,puteranya yakni, Habeahan, Bondar dan Gorat merupakan generasi ke satu (I) yang menggunakan Pasaribu sebagai marga sehingga menjadi Habeahan Pasaribu, Bondar Pasaribu dan Gorat pada generasi ke XI. Ini berarti Pasaribu sebagai marga paling cepat ada pada generasi ke XII dengan demikian bukanlah hulahula dari Sianbaton, Narasaon dan Sorba Dibanua seperti yang dilakukan di Tapanuli tangah itu.


B.     PASARIBU DAN SARUKSUK DALAM BERBAGAI SILSILAH

1.       BUKU “ TAROMBO PASARIBU BONDAR “(TPB)

Buku ini disusun oleh AH. Pasaribu, Penerbit PT. Turang, Medan, 1980. Tidak menjelaskan mengapa buku ini diberi label: “Khusus untuk Borbor Pasaribu dohot boruna”. Memang ada Borbor Marsada (Borbor Bersatu) yakni suatu perjanjian (padan) dari Limbong, Sagala dan Malau, pada saat Borbor masih dalam kandungan, yang isinya, mereka harus bersatu bersama Borbor melawan (maralohon) turunan (pomparan) dari Ilontungon (hal.55, bandingkan dengan TBM hal. 50 “Limbong, Sagala, dan Malau juga Borbor, karena merekapun kehujanan/Borbor). Sedangkan Borbor Pasaribu, dengan menggunakan predikat Pasaribu maksudnya mungkin sebagai marga Raja Borbor. Buku Tarombo Pasaribu-Bondar diterbitkan dan diedarkan khusus untuk Pasaribu dari kalangan Borbor keseluruhan, bukan cuma untuk Habeahan, Bondar, dan Gorat, saja.
Karena studi ini dimaksudkan untuk mencari, menelusuri serta menemukan informasi Pasaribu dalam buku ataupun dalam silsilah untuk memastikan sejak generasi keberapa marga Pasaribu itu ada dan siapa orang pertama pemilik Pasaribu itu sebagai nama diri. Dan didalam buku Tarombo Pasaribu Bondar secara hurufiah ditulis begini.

“Anggo goar ni Gr. Tateabulan, ndang pola dimargahon pomparanna, goar ni  anakna Sariburaja do parjolo dimargahon pomparanna gabe marga Pasaribu; ima humeba-heba dohot marga Sumba”.Siboru Sanggul Haomasan boru ni Sariburaja namuli tu Tn Sorbadibanua, br Pasaribu do margana (hal 55).

(Tentang nama Guru Tateabulan, belum dijadikan marga oleh turunannya, nama puteranya Sariburaja (pertama) yang dijadikan marga turunannya menjadi marga Pasaribu, itulah yang merambat bersama marga Sumba).

Karena dalam silsilah Pasaribu Bondar yang disusun AH. Pasaribu ini menempatkan Sariburaja pada generasi ke-III, ini artinya bahwa Pasaribu yang pertama muncul segaris bersama Raja Uti, Limbong, Sagala, Malau, dan Sori Mangaraja dari lingkungan Sumba. Masih dalam halaman yang sama pada generasi ke-V, yakni Raja Hatorusan II bergelar Balahasunu, itu tetap menggunakan Pasaribu sebagai marga komunitasnya. Selanjutnya Raja Doli yang bergelar Datu Tala Dibabana, di Sianjur Mulamula, tetap setia membawa ‘bendera’ marga Pasaribu dalam generasi ke-VI. Tetapi putera-puteranya karena sudah banyak (matorop mabue) kemudian nama-nama puteranya itu dinobatkan (di paampe) jadi marga yang baru sehingga, antara lain, Sipahutar menjadi marga Sipahutar. Sekalipun demikian Sipahutar tetap konsisten sebagai Pasaribu karena  boruna, Matasopiak, yang menikah (muli) ke Sitorus Pane di Sitorus Parsambilan tetap memakai boru Pasaribu. Hingga saat ini marga Sitorus martulang (berpaman) kepada marga Pasaribu sebagai bukti Sipahutar memang Pasaribu. Semua putera Datu Tala Dibabana menggunakan marga Pasaribu. Baru setelah bercucu berbuyut di tempat yang baru masing-masing menggunakan sub unit Sipahutar menjadi marga Sipahutar, Raja Hatioran menjadi marga Harahap, turunan dari Raja Tanjung menjadi marga Tanjung, dan turunan dari Rambe Raja menjadi marga Rambe. Identik dengan ini, turunan dari Habeahan menjadi marga Habeahan, turunan dari marga Bondar menjadi marga Bondar dan turunan dari Gorat menjadi marga Gorat, serta turunan dari Raja Saruksuk menjadi marga Saruksuk.
Setelah melakukan pengkajian secara lebih mendalam, AH. Pasaribu dalam bukunya Tarombo Pasaribu-Raja Bondar kemudian dapat disimpulkan sebagai berikut :
Pertama  :  Saribu Raja I = Pasaribu;
Kedua     :  Yang masuk marga Pasaribu adalah, semua turunan Sariburaja I, yakni semua sub unit dari Borbor. Limbong, Sagala dan Malau (tentu) dapat masuk dalam komunitas marga Pasaribu karena diikat oleh Nai Marata.
Ketiga     :  Dalam silsilah ini Saruksuk menempati posisi generasi VIII jadi, Pasaribu Saruksuk = Pasaribu, segaris dengan Pompang Balasaribu, Matondang, Tarihoran, Parubahaji, dan Parapat. 

2.       “TAROMBO BORBOR MARSADA “ (TBM)


Tarombo ini ditulis oleh Mangaraja Salomo Pasaribu gelar Patoean Sarangna Diborngin, Gepensioneerd Asistant Demang. Merupakan makalah yang dipersiapkan untuk pertemuan (kongres) (1938) di Haoenatas-Balige, Toba. Makalah ini begitu tebal dan mencakup secara luas marga-marga turunan Sariburaja pertama. Berbagai peristiwa legendaris disajikan di dalamnya sehingga menarik untuk di simak. Sayang, silsilah (TBM), ini tidak dibahas di dalam kongres itu, karena waktu yang sempit dan membicarakan terlalu banyak hal yang seharusnya tidak prioritas. Padahal  undangan yang menghadiri Kongres itu hampir merepresentasikan Borbor Marsada secara lengkap dan kompeten. Sekalipun tidak dibahas dan tidak disahkan (hal.294) tarombo TBM ini telah menjadi pegangan bagi sebagian Pasaribu yang berasal dari Haoenatas yang disebut sebagai Bona Pasogit dan mereka terima sebagai kebenaran tradisi, “sudah given” tidak perlu pembuktian, dari dulu, memang begitu karena itu tidak perlu diperdebatkan, katanya.
Tetapi, sekalipun silsilah TBM ini masih merupakan makalah tetapi tetaplah menarik untuk bahan diskusi, sebab yang menjadi fokus perhatian studi ini adalah Pasaribu Dalam Silsilah. Dan berkait dengan Pasaribu, Mangaraja Salomo dalam TBM pada halaman 208 mencatat begini :

Ditopot Si Bagot ni Pohan, anak ni Toean Sorba Dibanoea, i ma Nai Antingmalela boru ni Sariburaja II hira na manoendoeti, ai Toean Sori Mangaraja ompoe ni Si Bagot ni Pohan i pe hela ni Pasaribu do (hela ni Saribu Raja I na di Parik Saboengan Siandjoer Moelana).”
Artinya, Si Bagot ni Pohan yakni Putera Sorbadibanua menikah dengan Nai Anting Malela putri Sariburaja II  mengikuti (manunduti) Tuan Sori Mangaraja kakeknya Si Bagot Ni Pohan, juga mantu (hela)-nya Pasaribu (menantu Saribu Raja I dari Parik Sabungan / Sianjur Mulana)”.

Masih dalam buku TBM itu, pada halaman 61, Pasaribu sudah ada pada generasi ke-IV segaris dengan Raja Borbor dikenal dengan nama “Pasaribu Parsulambak Golang-golang” yang lahir dari isteri ke-IV Saribu Raja I (Pasaribu). Mengenai Sariburaja dengan isterinya Parsulambak Golang-golang diceritakan begini : Pepatah mengatakan. “Bangun-bangun nabara tobu ura-uraon, molo dung dibaen hata sitongka do pauba-ubaon”, singkatnya, kalau sudah diucapkan pantang berubah-ubah, yakni suatu janji antara Saribu Raja I dengan isterinya untuk tidak cerai. Walaupun tidak usah berkumpul. Suatu saat Saribu Raja I mencari, kemudian menemukan Sisulambak Golang-golang pada kayu tua (najangguton). Kepada Saribu Raja dia mengatakan, saya tidak mengatakan kau ingkar janji, kau punya banyak turunan (gabe) dan selamat (horas). Mengenai yang kulahirkan itu saat engkau tinggal masih dalam kandungan, anak yang pertama laki-laki dan anak yang kedua perempuan. Wajahnya dan adatnya tidak mirip manusia tetapi sama dengan kami. Karena itu pada turunan kita harus dipesankan supaya tidak saling bermusuhan, dengan syarat begini : supaya manusia putera Saribu Raja menggambari wajah mereka dengan arang bila mana memasuki hutan lebat supaya tidak diganggu turunan (pinompar) Parsulambak Golang-golang. “Karena anakku yang dua ini bukan manusia juga bukan hantu di hutan rimba yang rimbun ini”. Konon itulah sebabnya orang menyebut anak Parsulambak Golang-golang yang tetap sebagai mitos sampai saat ini.
“Pasaribu” muncul lagi dalam halaman 167 yakni pada generasi ke-VI, bernama Datu Tala Dibabana (Raja Doli). Mereka enam bersaudara putera Balasahunu (Hatorusan II). Putera yang ke-VI bernama Sindar Mataniari disebut juga dengan nama julukan Datu Mombang Napitu. Disini muncul istilah “Pasaribu” dalam suatu acara seremonial saat hendak memulai mengukir rumah Datu Mombang Napitu. Ipar (Lae) Mombang Napitu bernama Pangantik (Panggorga) diminta mengukir (manggorga) rumah Datu Mombang Napitu. Saat upacara seremonial makan itu Pangantik Panggorga memulai pembicaraan (marhata) pada Datu Mombang Napitu, begini : “Ale lae Pasaribu, dimulana mangan on ahu di hutam on, tangkas ma ho marsuhari,…”. Yang perlu di catat dalam kutipan ini adalah, bahwa Datu Mombang Napitu adalah Pasaribu, sudah menjadi marga dari Datu Mombang Napitu (tentu  juga marga dari lima abangnya bersaudara: Datu Tala Dibabana, Rimbang Saudara, Datu Altong dan Simargolang).
Pada halaman 206, Mangaraja Salomo mencatat suatu peristiwa yang di kenal dengan  peristiwa “Pasaribu nieak ni poring” pada generasi ke-VII yakni generasinya Datu Rimbang Soaloon (Sariburaja II). Peristiwa ini mengenai diaspora Pasaribu dari Silindung ke Barus melalui suatu diplomasi tipuan dari Guru Mangaloksa. Konon, Guru Mangaloksa berlari pontang-panting dengan nafas terengah-engah datang melapor ke Pasaribu selaku penguasa kampung Huta Barat yakni kampung mertua Guru Mangaloksa, katanya, ”Kampung Huta Barat juga sudah terkepung dan semua penduduk sudah pindah meninggalkan kampung mereka. Pasaribu juga supaya pindah ke tempat lain menyelamatkan diri dari kepungan musuh.” Katanya itulah alasan eksodus itu, dan dalam perjalanan yang terburu-buru serta ketakutan, ada rombongan yang menginjak poring yakni sejenis talas mengeluarkan bunyi. Bunyi poring yang terinjak ini menambah ketakutan rombongan sehingga terpaksa berjalan lebih cepat seperti dikejar sesuatu. Perjalanan rombongan Pasaribu yang seakan dikejar sesuatu inilah yang dikenal dengan julukan “Pasaribu nieak ni poring”. Menurut MS. Pasaribu yang menulis peristiwa ini dalam TBM, Pasaribu yang berdomisili di Silindung pada waktu itu adalah Pasaribu Bondar yang ditipu Guru Mangaloksa supaya meninggalkan Silindung. Tetapi dalam konteks (Pasaribu Bondar) ini, MS. Pasaribu telah melakukan kesalahan. Karena Guru Mangaloksa hidup pada generasi ke-VII sedangkan Bondar lahir pada generasi ke-XI, menurut silsilah TBM. Dan kalau Pasaribu Bondar-lah waktu itu yang berdomisili di Silindung itu artinya Pasaribu Bondar sudah merupakan komunitas. Pasaribu Bondar sebagai komunitas diperkirakan ada paling cepat pada Generasi ke-XIV yakni Bondar Pasaribu dengan sejumlah buyut. Tidak masuk akal Guru Mangaloksa yang hidup dalam generasi ke-VII mengusir Pasaribu Bondar pada generasi ke-XIV dari Silindung dengan julukan “Pasaribu nieak ni Poring”. Karena Guru Mangaloksa (generasi ke-VII) yang mengusir Pasaribu, tentulah yang diusir itu Pasaribu dari generasi ke-VII juga, dan yang diusir itu bukan Bondar karena Raja Bondar saat itu belum lahir.
Kesimpulan :
Pertama  :  Sariburaja I = Pasaribu
Kedua     :  Saruksuk berada pada posisi generasi ke-V, jadi Pasaribu Saruksuk=Pasaribu, segaris dengan Balasahunu (Hatorusan II), Damanik, Harahap, Parapat, Matondang, Sipahutar, Torihoran, Gurning, Rambe.


3.       PPDB JABOTABEK (JHON B. PASARIBU, 1993)

Buku kecil itu memuat memori kepengurusan Pasaribu, Masa Bhakti 1993 – 1995 yang di pimpin oleh Drs. John Bidel Pasaribu. Walaupun Buku itu merupakan memori tetapi didalamnya memuat banyak informasi menarik termasuk hal-hal yang perlu dikritisi terutama menyangkut Pasaribu. Pengurus Parsadaan Pasaribu dan Boru (PPDB) Jabotabek pada halaman 61 menulis begini : “Tarombo Ni Sariburaja III Pasaribu Na Tolu Sabutuha”. Maka pada halaman 63 disajikan silsilah Sariburaja III begini: Sariburaja III punya 3 orang isteri, 1) Boru jau, 2) Boru Pareme 3) Boru Babiat. Dari Boru Jau lahir Siraja Iborboron, dari Boru Pareme Lahir Siraja Lontung, dari Boru Babiat Lahir Raja Galeman. Mungkin yang dimaksud dengan halaman 63 itu adalah Sariburaja I, bukan Sariburaja III, karena pada halaman 62 di tulis “Boi dope dohonon tahe, ia na mamboanhon marga Pasaribu, tarlumobima, dung di ari na parpudi on, hira pomparan ni Sariburaja III nama, atik pe boi dijalo roha na tong-tong do adong hak ni angka pomparan ni Sariburaja I dohot Sariburaja II mamahe marga Pasaribu”. Maksudnya begini: Boleh dikatakan bahwa yang membawa marga Pasaribu, khususnya akhir-akhir ini, hampir turunan dari Sariburaja III saja, namun demikian harus diakui turunan Sariburaja I punya hak menggunakan marga Pasaribu. Kita garisbawahi kalimat, boleh dikatakan bahwa yang membawakan marga Pasaribu, khususnya akhir-akhir ini hampir turunan dari Sariburaja III saja, kalimat ini kalimat karet, yakni kalimat yang tidak dapat dijadikan pegangan karena mempunyai arti yang tidak pasti. Kalimat yang benar adalah : Harus dikatakan bahwa yang membawakan marga Pasaribu, bukan turunan dari Sariburaja III saja, tetapi mencakup semua marga-marga dibawah Borbor, bahkan juga dalam lingkup yang lebih luas yakni Borbor bersama Limbong, Sagala, dan Malau. Lagipula, menggunakan kriteria apa sehingga hanya turunan Sariburaja III saja yang membawakan Marga Pasaribu.
Masih menurut PPDB Jabotabek dalam “Buku Bolon 1988”, pinatomu-tomu ni amanta Drs. John B. Pasaribu pada halaman 24 menulis sebagai berikut:
“Marga Borbor, yang kemudian berobah menjadi Borbor Marsada bersama-sama dengan marga Sagala, Limbong dan Malau, mereka bersatu untuk melawan marga Lontung”.(Tidak ada marga Borbor,yang ada marga-marga Borbor) Tidak dijelaskan alasan mengapa Borbor Marsada melawan marga Lontung. Kalau alasannya karena Lontung lahir sebagai buah dari incest orangtuanya yang sekandung, perlawanan Borbor Marsada terhadap Lontung benar-benar tidak adil. Lontung tidak melakukan kesalahan sekecil apapun terhadap Borbor, Limbong, Sagala maupun terhadap Malau. Lontung lahir bukan atas kemauannya sendiri dan tidak punya urusan terhadap apa saja yang dilakukan oleh Sariburaja dengan Boru Pareme sehingga Lontung ada dalam kandungan ‘namboru-nya’ yang juga adalah ibu kandungnya. Bahwa Borbor Marsada dibentuk untuk melawan Lontung pastilah merupakan gerakan permusuhan yang tidak layak karena itu Borbor Marsada versi seperti itu harus ditolak. Dalam buku stensilan  ini (Pasaribu : menurut PPDB Jabotabek), pada halaman 30 ditulis dengan *).
Dalam silsilah Raja  Habeahan dikemudian hari ada anaknya bernama Raja Manuksuk atau Saruksuk ….., pada generasi ke-XII. Seharusnya Saudara John B. Pasaribu menyebutkan sumber yang jelas dari mana dikutip bahwa: “Raja Manuksuk = Saruksuk. Raja Manuksuk = Ompu ni Urat Habeahan datang ke Rabaraba dan menetap di sana (TRU Saruksuk, Pasaribu, hal 121). 
Kesimpulan :
Pertama  :  Sariburaja I = Pasaribu
Kedua     :  Menempatkan Saruksuk=Manuksuk dalam silsilah Habeahan harus ditolak.          

4.       BUKU SEJARAH BATAK (BATARA SANGTI, 1978).

Dalam buku Sejarah Batak karya Ompu Buntilan yang menempatkan si Raja Batak pada generasi I, Sariburaja I berada pada generasi III bersama Tuan Sorimangaraja, ternyata isteri Tuan Sorimangaraja adalah boru Pasaribu (hal.14 dan 52). Batara Sangti yang disebut juga Ompu Buntilan, pada halaman 52, mencatat begini “….yaitu dalam kisah perlawatan Tuan Sari Margaraja (TSM ) (s. ke-3 kira-kira 1365-1395) dari Baligeraja pergi  ke Angkola Jae (hilir) dalam rangka mencari seekor ‘ular belang tua’ (Toba = “ulok sibaganding tua”) untuk mengambil ‘ati’ dan ‘minyak’ dari ular sebagai salah satu ramuan obat isterinya marga boru Pasaribu (Puteri keturunan Tuan Sariburaja/Sriwijaya?) bernama Nai Suanon (Ibu Tuan Sorba Dibanua) karena lama mandul (tidak beranak).
Isteri Tuan Sorba Dibanua pada generasi ke-IV juga boru Pasaribu melahirkan lima orang putera: 1. Sibagot Ni Pohan (isteri boru Pasaribu dari Tarabunga Baligeraja) 2. Sipaittua, 3. Silahi Sabungan, 4. Siraja Oloan, dan 5. Siraja Hutalima (hal. 313 dan hal. 443). Juga isteri Raja Mangarerak (Panjimeter) adalah boru Pasaribu (Noot: Ypes al. 37). Siraja Oloan generasi ke-V mempunyai isteri boru Pasaribu (Horas, 27-8-1991), dan Sejarah Batak, hal. 306. pada generasi ke-VI yakni Tuan Sihubil, isterinya boru Pasaribu. Tampubolon, putera Tuan Sihubil juga dari boru Pasaribu itu. Ibu Sisingamangaraja I (generasi ke-X) adalah boru Pasaribu dan suaminya Ompu Raja Bona ni Onan (pada generasike-IX). Dalam generasi ke-VII juga dikenal Pasaribu Nieak Ni Poring akibat ulah  (hal. 470) Guru Manombabisa yang kikir. Konon, Guru Mangaloksa menyuruh isterinya Si Tumaledung boru Pasaribu menghadap Guru Manombabisa meminta sebidang tanah untuk mereka garap, tetapi Guru Manombabisa cuma mengabulkan sebungkus kecil saja tanah untuk dibawa pulang memenuhi permintaan Guru Mangaloksa. Diperlakukan seperti itu Guru Mangaloksa tentu saja tidak terima dan sejak itu mulailah timbul upaya rekayasa mengalahkan sang mertua dikampungnya sendiri yang bernama Marsaitbosi, yakni kampung marga Pasaribu secara diplomatis. Guru Mangaloksa berhasil mengusir mertuanya dari Silindung, dengan julukan Pasaribu Nieak Ni Poring. Cerita ini mirip sekali dengan yang dituturkan dalam buku Borbor Marsada pada halaman 271 tetapi karena tidak menyebut sumber yang jelas, cerita itu termasuk dalam dongeng yang banyak mengandung bumbu yang terkadang terasa pahit.
Kesimpulan :
Pertama  :  Pada generasi ke III Si  Raja  Batak sudah ada Pasaribu
Kedua     :  Saruksuk menempati posisi generasi ke-VIII, jadi Pasaribu Saruksuk =    Pasaribu bersama Sariburaja, Parubahaji, Matondang, Tarihoran dan Parapat.

5.       LELUHUR MARGA-MARGA BATAK
Leluhur Marga-marga Batak (1996) karya Drs. R. Sinaga menolak menggunakan “Pasaribu” dalam julukan : Pasaribu Nieak Ni Poring dalam generasi ke-VII itu. Alasannya, waktu itu Pasaribu belum ada. “Pasaribu sebagai marga akan timbul pada generasi berikutnya.” Sinaga tidak menyebut sumber yang jelas dan alasannya. Pendapat ini, agaknya dipengaruhi dugaan Batara Sangti dalam Sejarah Batak, hal. 443 yang menulis: “Ra marga Borbor dope marga Pasaribu ujui, ai sundut VIII do Pasaribu”, artinya, mungkin masih Borbor marga Pasaribu waktu itu karena Pasaribu muncul dalam generasi VIII. Kiranya Batara Sangti juga dipengaruhi Tarombo Mangaraja Salomo yang mencatat Sariburaja III (Pasaribu). Seakan-akan Sariburaja IIIlah Pasaribu yang pertama.Karena itu R. Sinaga mengubah Pasaribu Nieak Ni Poring menjadi ‘Borbor Nieak Ni Poring’, mengikuti Batara Sangti. Yang ragu-ragu dengan kata ‘ra’ (barangkali hal 443) itu.  Mengapa R. Sinaga tidak mengutip Mangaraja Salomo dalam Borbor Marsada (hal. 271) bahwa yang diusir Raja Mangaloksa adalah Pasaribu, bukan Borbor. Sebenarnya Batara Sangti juga tidak punya alasan menduga Pasaribu muncul dalam generasi ke-VIII kecuali terpengaruh oleh Tarombo Borbor Marsada, yang mencatat “Sariburaja III (Pasaribu)”. Padahal MS. Pasaribu juga menyatakan secara jelas dalam Tarombo Borbor Marsada ( halaman 208 ) mencatat, “Tuan Sorimangaraja ompu ni Sibagot Ni Pohan (generasi ke-III) pe hela ni Pasaribu do”. Dan tidak ada pihak Pasaribu yang mengubah Pasaribu Nieak Ni Poring menjadi Borbor Nieak Ni Poring. Borbor bukan marga, tetapi nama. Marganya Borbor adalah Pasaribu. Yang dimaksud marga-marga Borbor adalah semua unit Marga dibawah Borbor, tidak mencakup Limbong, Sagala dan Malau. Jadi tidak benar Pasaribu baru muncul pada generasi ke-VIII.
Kesimpulan :
Pertama  :  Pasaribu versi Drs. R. Sinaga dalam bukunya : “Leluhur Marga-Marga Batak” harus di tolak.
Kedua     :  Disini posisi Saruksuk ada pada generasi ke-V, mengutip Bona Ni Pinasa, No.2 (1992).
 
6.       SARIBURAJA, BAPAK SARIBU, PAK SARIBU, PASARIBU

Gr. TRU. Saruksuk dalam makalahnya yang disampaikan di dalam forum Dialog Nasional Pasaribu Saruksuk di Sirau, Kec. Sorkam, Tapanuli Tengah (1988) mengenai muasal “Pasaribu”, konon sebagai berikut :
“Karena ancaman dari adik-adiknya; Limbong, Sagala, Malau yang disebut Borbor Marsada, maka Sariburaja pamit dari Nai Mangiringlaut isterinya mohon ijin pergi melanglang buana …., dan akhirnya terus ke Barus berbatasan dengan Dairi. Dalam perjalanan di dalam hutan belantara tiba-tiba muncul suara (dialog) begini :
Hei, siapa yang berisik (mardaras-daras) disitu?” begitu suara bertanya dari arah jauh.
“Kamu sendiri siapa?” sahut Sariburaja  (I) balik bertanya.
“Aku Raja Langlang penguasa daerah ini”! jawab yang ditanya. Rupanya Raja Langlang adalah dukun (datu) tersohor seperti halnya Sariburaja, karena ternyata setelah saling mendekat, harimau peliharaan Raja Langlang meloncat dan bersujud dihadapan Sariburaja. Raja Langlang jadi heran. ….. “Harimaupun bersujud”, pikir Raja Langlang memandangi tamunya itu.
“Siapa kau” ? tanya Sariburaja kepada harimau. Yang bersujud dihadapannya,
“Babiat Sitelpang”  (harimau pincang) jawab yang ditanya. “Saya datang dari Pusukbuhit dan dalam perjalanan, kaki saya terkena perangkap mengakibatkan saya jadi pincang”, bagitu Babiat Sitelpang menjelaskan. Lebih lanjut harimau menambahkan bahwa dialah yang mendampingi Raja (Sariburaja) menjenguk Boru Pareme ke Batu Martindi, dan mengantar makanan untuk Boru Pareme.

Melihat peristiwa itu Raja Langlang menjadi kagum memandangi tamunya itu: “Harimau pun bersujud” pikirnya terheran-heran.  Dan akhirnya Raja Langlang mengangkat Sariburaja menjadi menantu dan sehari-hari menyapa menantunya itu dengan Bapak Saribu sesuai dengan kebiasaan orang Melayu, dengan laval Pa Saribu, dan kedengarannya menjadi Pasaribu, maksudnya adalah Raja Sariburaja (I).

7.       PASARIBU DAN SARUKSUK” : HASIL DIALOG NASIONAL

            Pengalaman silsilah (tarombo) didefenisikan sebagai pencarian realitas asali. Dan dalam rangka pencarian ini, penyilsilah sering merasa terdorong untuk menegaskan bahwa silsilah yang dimiliki sebagai paling otentik dan karenanya harus dianggap paling sah. Banyak diantara mereka memperlihatkan kecenderungan terselubung untuk menyatakan diri sebagai yang paling benar, lalu menawarkan silsilah yang dia miliki sebagai satu-satunya pilihan menuju kepastian posisi dalam silsilah. Sikap seperti ini kiranya bertengah dengan, apabila, menerima setiap ungkapan mengenai realitas asali yang, lain dari pada ungkapan sendiri. Suatu kenyataan dan mengaburkan susunan keluarga Batak dewasa ini ialah adanya berbagai ragam dan versi silsilah beredar dan dimiliki masing-masing sebagai satu-satunya kebenaran.
            Dalam komunitas Pasaribu Saruksuk pun pernah terjadi hal serupa, terutama tahun 1965, yakni, sejak munculnya satu versi silsilah berjudul Tarombo Pasaribu Habeahan di Medan. Dalam silsilah versi itu posisi Raja Saruksuk ditempatkan mengisi posisi Raja Manuksuk pada silsilah Pasaribu Habeahan. Silsilah rekayasa ini kemudian diseremonialminikan oleh St. Rellius Saruksuk Gg. Halat, di Medan. Mulai saat itu disitu dan di Jakarta Pusat yang disponsori oleh Rafidin Pasaribu Saruksuk  BA, posisi Saruksuk dalam komunitas Pasaribu menjadi gamang. Sebelumnya di Tapanuli Tengah Saruksuk merupakan si bungsu dari empat bersaudara, Habeahan, Bondar, Gorat dan Saruksuk di tetapi sejak munculnya posisi Saruksuk mengisi Manuksuk, sub unit Saruksuk jadi hilang dan tampil dalam posisi baru yakni Habeahan, yang tadinya Saruksuk anak bungsu berubah menjadi anak sulung. Perubahan posisi ini menimbulkan masalah besar di kalangan Pasaribu khususnya di Pasaribu Tobing dan Pasaribu Dolok, Tapanuli Tengah tempat Raja-Raja Saruksuk membangun “tahta “(huta) yakni di Rabaraba, Lobu Sampetua, Tarutung Siduadua, Jampalan Bidang, Lobu Siala, Sarumatinggi, Siangirangir, Sibatunanggar, Janji Nauli, Bonandolok, Sirau, Panorusan, Longgang, Tomaginjang I, Tomaginjang II, Lumbang Baringin, Batu Ronggang, Rianiate, Sidimpuan, Sibatubatu, Pansuran Dewa dan Aek Rogas. Untuk mengatasi masalah ini komunitas Saruksuk menggagas suatu pertemuan yang luas dan mencakup keseluruhan keluarga-keluarga Saruksuk. Pertemuan ini disebut Dialog Nasional, 23-24 Oktober 1988, di Sirau, Kecamatan Sorkam, Tapanuli Tengah. Turut diundang dan hadir disitu pengurus Pasaribu Kota Medan, dan tokoh-tokoh unit marga Pasaribu dalam lingkup Borbor, Tapanuli Tengah. Ada tiga hal yang dituntaskan dalam forum itu yakni, 1). Orang pertama yang menyandang “Pasaribu”. 2). Posisi Saruksuk dalam silsilah Batak. 3). Silsilah turunan (Pomparan) Saruksuk.
            Selama dua hari pertemuan berdialog itu, memasuki hari kedua yang semula diperkirakan berjalan alot dan banyak debat ternyata berjalan sangat mulus. Para peserta dialog sangat lega karena semua undangan di luar Saruksuk memiliki informasi tentang Pasaribu sama dengan yang diketahui Saruksuk selama ini. Karena itulah secara amat mudah keputusan dapat dicapai sebagai berikut :
Pertama  :  Sariburaja I yakni putera ke-dua Guru Tatea Bulan, sesudah Raja Uti, adalah orang pertama penyandang Pasaribu, yakni nama dan martabat (sangap) keluarga Guru Tatea Bulan yang harus dipelihara terus-menerus oleh seluruh turunan dari ibu Nai Margiring Laut, first lady dari Sariburaja I sejak dari Borbor selaku “Putera Mahkota”.
Kedua     :  Saruksuk  berada pada posisi putera ke-empat dari Datu Dalu / Sangmaima sesudah Habeahan, Bondar dan Gorat. Saruksuk terkenal sebagai erha karena dalam episode persaingan menghadapi ketangguhan Datu Pulungan Tua, Datu Dalu menjadikan Saruksuk menjadi erha untuk memenangkan pertarungan itu dengan cara diplomasi dan berhasil sukses untuk kemenangan Datu Dalu.
Ketiga     :  Sejak Dialog Nasional itu, silsilah Pasaribu Saruksuk sudah final dan ditandatangani oleh masing-masing rumpun (ompu) tanggal 24 Oktober 1988. Hasil Dialog Nasional itu telah dibukukan dengan judul “Pasaribu Saruksuk” memuat resensi, dari majalah BONANIPINASA, dan sambutan dari Ketua Umum Parsadaan Pasaribu dan Boru-Berena, Bandung, Cimahi, J. Pasaribu (Bondar) memuji, terutama dari segi proses, prosedur dan tata tertib Dialog Nasional karena, “Hasil yang baik diperoleh melalui cara yang baik”.

Referensi :   
1.       Batara Sangti, Sejarah Batak, Karl Sianipar Comp. 1997.
2.       Hutagalung, MW, Pustaha Taringot tu Tarombo Batak, 1926.
3.       Pasaribu MS(Mangaraja Salomo), Tarombo Borbor Marsada, 1937.
4.       Pasaribu, AH, Tarombo Pasaribu-Bondar, PT. Turang, 1980.
5.       Said, Mohammad, Tokoh Sisingamangaraja XII, 1961.
6.       Siahaan, MA, Tokoh Tuan Sorba Dibanua, 1940.
7.       Sinaga, R, Leluhur Marga-marga Batak, Dian Utama, 1995.
8.       Pasaribu, Hasil Dialog Nasional, 1988.
9.       Buku Bolon, PPDB-Jabotabek, 1993.
10.   Memori Kepengurusan, PPDB-Jabotabek, 1993-1995.
11.   Makalah : O. Tiar Dolok Sipahutar, 1988, di Sirau.
12.   Makalah : T. R. U. Saruksuk, 1988, di Sirau.
13.   Makalah : T. U. Pasaribu, 1988, di Sirau.
14.   Majalah HORAS, 27 Juli 1989.
15.   …………, beberapa surat respon terhadap Dialog Nasional Pasaribu Saruksuk, 1988, di Sirau.   
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar